Deskripsi
Penulis: Filda Pratiwi
ISBN: Sedang diajukan
e-ISBN: Sedang diajukan
Kertas: Bookpaper 52 Gram
Ukuran: 13 x 19 cm / Doff
Jumlah Hal: BW 282 Halaman
PROLOG
“Silakan pilih anggota kelompok sendiri. Satu kelompok ada empat anak, ya.”
Kerja kelompok adalah hal paling menakutkan bagi Naura, cewek super introvert yang tidak memiliki satu pun teman akrab di kelas ini. Pada saat teman-temannya sibuk menyeret kursi untuk berkumpul semeja dengan teman sekelompoknya, Naura hanya bisa menoleh kanan dan kiri, menanti anak buangan yang mau berkelompok dengannya.
Memang kerja kelompok menyenangkan bagi anak-anak yang punya circle. Namun, bagi Naura yang no life ini, dia lebih suka mengerjakan tugas individu, tak masalah bila disuruh merangkum lima bab sekaligus sampai jarinya kesemutan, asalkan dijauhkan dari yang namanya tugas kelompok.
Semua siswa telah berkumpul dengan kelompoknya masing-masing sambil bercanda dan tertawa, membuat Naura semakin nyesek karena tak dianggap. Hanya ada dua anak yang masih tersisa yaitu Gilang dan Yudha, tapi mengerikan juga kalau mau sekelompok sama duo perusuh itu. Naura bisa digodain habis-habisan.
Naura yang jiwa sosialnya rendah itu, akhirnya mau tak mau memberanikan diri untuk memulai interaksi. Basa-basi bertanya pada Jihan yang lumayan friendly. “Han, gue gabung kelompok lo, ya?”
“Eh, sorry, Ra, tapi kelompok kita udah penuh.” Jihan tersenyum tak enak.
“O-oh, ya udah kalau gitu, lanjutin aja.”
Naura lanjut bertanya-tanya pada anak lainnya, kali ini pada Putri. Putri ini circle-nya anak berkacamata mata tebal, kutu buku, pintar-pintar. Naura yang nilainya bikin istigfar jelas tidak akan diterima di kelompok mereka.
“Put, kelompok lo masih kurang anggota, nggak?”
“Udah full, sih, Ra. Ini sama temen-temen gue udah pas empat anak.”
Tuh, kan.
“Oalah, oke.”
Harapan terakhir ada di kelompoknya Sarah dan kawan-kawan. Circle hedon. Circle seleb yang tiap jam kosong selalu live streaming. Kalau nggak gitu, ya, joget-joget buat video TikTok. Isi tasnya sembilan puluh lima persen diisi makeup, sedangkan sepuluh persennya diisi buku satu biji.
Begitu Naura tiba di depan Sarah, cewek itu menatap Naura dari atas sampai bawah secara berulang. Sejenis tatapan yang kurang mengenakkan. “Apa?”
“Mm... gu-gue boleh join kelompok lo? Gue belum dapat kelompok soalnya.”
“Bentar gue tanyain temen-temen gue dulu,” jawabnya judes. Lalu dia bisik-bisik sama teman-temannya. Saling lempar tatap diselingi tawa sambil melirik Naura. Naura berpikir, adakah yang aneh pada dirinya hingga circle seleb itu menertawakannya?
“Kita nggak bisa terima lo. Lo cari kelompok lain aja. Gabung sama Yudha Gilang sana.”
Naura pengen nangis.
Sungguh, sakit sekali diperlukan seperti ini.
Mati-matian, Naura menahan air matanya agar tidak luruh. Sesak rasanya menahan tangis di kelas.
Tiba-tiba, sepasang tangan mengusap bahunya dari belakang, disusul suara bisikan selembut tiupan angin. “Udah dapat kelompok belum, Sayang?”
Penyelamatnya.
“Belum.” Mata Naura berkaca-kaca.
Cowok jangkung di depannya malah tersenyum geli. Dua belas bulan sudah lebih dari cukup bagi Vino untuk mengenali Naura sampai ke akar-akarnya. Naura yang makan nasi sehari satu kali, tapi minum kopi bisa tiga sampai empat kali sehari, hal ini membuat Naura huek-huek. Naura yang hobi membaca novel dan kini matanya minus empat. Naura si anak rumahan yang hampir tidak pernah keluar rumah (sampai Naura bingung mana Timur, mana Utara, mana Selatan). Dan, Naura yang payah dalam bersosialisasi.
“Gabung sama kelompok aku aja,” tawar Vino.
“Tapi, kan, teman setongkrongan kamu ada empat anak. Udah cukup.”
“Gampang, lah. Nanti satunya biar aku kick.” Vino ngomongnya enteng banget.
“Jangan sembrono kamu.” Naura melotot.
Tak Vino indahkan pelototan Naura, cowok itu malah menggandeng pergelangan tangan pacar satu tahunnya itu ke tengah-tengah anggota kelompoknya yang kini menatap Naura dengan tatapan risi. “Ini cewek gue mau join kelompok kita.”
“Udah pas berempat. Kita nggak open member lagi.” Yang menjawab adalah Silvi, satu-satunya cewek yang ada di tongkrongan Vino.
“Sesekali doang, kok,” bantah Vino.
“Ya cewek lo yang harusnya cari kelompok sendiri. Ngalem banget sampai dicariin cowoknya. Mana sampai nerobos kita berempat, lagi.” Kali ini Reza yang jawab. Jenis kelaminnya memang cowok, tapi mulutnya lemes banget ngalahin mulut cewek. Kalau lagi julid, nusuk hati banget, Ibu-ibu yang doyan gosip aja pasti minder sama Reza.
“Naura juga udah tanya-tanya sama anak lain kali, tapi emang udah full semua. Kasihan ini cewek gue nggak kebagian kelompok.” Vino tetap membela sang pacar yang hanya diam bersembunyi di balik punggungnya. “Atau gini aja, Za, mending lo oper kelompoknya Yudha sama Gilang. Biar Naura ke kelompok kita. Lo sama Gilang CS, kan, sama-sama cowok? Kalau Naura gabung sama Gilang, ntar dia cewek sendiri. Bahaya.”
“Ya elah, alay banget, sih. Gue juga hampir setahun ini cewek sendiri di circle kita. Aman-aman aja, kok. Kuping gue masih dua. Jari gue masih lengkap sepuluh. Cewek lo aja yang kuper,” maki Silvi.
“Ya beda, lah, lo sama Naura.” Vino embuskan napas berat. Lalu beralih tatap ke arah Reza yang masih nyinyir. “Za, lo sekali aja ngalah dulu bisa, nggak? Kasihan beneran ini cewek gue sendiran.”
“Kalau gue out, ntar kalian nggak dapat fasilitas camilan plus WiFi gratis waktu kerkom. Cuma rumah gue doang, kan, yang PW banget buat kerja kelompok soalnya orangtua gue nggak di rumah.” Reza juga tidak mau kalah.
“Oke, nggak apa-apa. Nanti kita kerkom di kafe aja,” putus Vino.
“Lo kok gitu, sih, Nj*ng? Cewek mulu yang lo—”
“Pada bacot semua.” Suara dingin dari meja pojok itu serentak merubah keadaan berubah hening.
***
Filda Pratiwi
Penulis