Deskripsi
Penulis: Ilyas Bachtiar
ISBN: Sedang diajukan
e-ISBN: Sedang diajukan
Kertas: Bookpaper 52 Gram
Ukuran: 13 x 19 cm / Doff
Jumlah Hal: BW 202 Halaman
PROLOG
Gadis dengan rambut kucir dua itu berjalan menyelusuri gang menuju rumahnya dengan perasaan luar biasa riang. Sesekali ia melompat kecil, membuat rambutnya yang diikat tinggi-tinggi itu bergerak ke sana-kemari. Di tangan kanannya, gadis itu menggenggam satu permen lolipop besar yang baru ia beli di warung depan. Sesekali ia akan menghentikan langkah dan memasukkan permen itu ke dalam mulutnya. Ia akan mendiamkannya selama beberapa detik, membiarkan air liurnya bercampur dengan permen yang mulai meleleh itu. Kemudian, ia akan memejamkan matanya erat-erat, menikmati cita rasa manis yang sangat ia sukai.
Namun, tidak sampai lima detik, permen itu terlepas dari genggaman tangannya, jatuh mengenaskan ke tanah. Senyum yang semula menghiasi wajahnya pun seketika sirna. Ia memberengut, menatap nasib malang permen itu, permen yang ia beli dari uang yang susah payah ia dapatkan setelah merengek pada sang ibu. Ibunya itu tidak akan mau memberinya uang secara cuma-cuma lagi, apalagi jika tujuannya untuk membeli permen yang hanya akan membuat giginya berlubang.
Zalina menghela napas panjang. Permen itu kini sudah bercampur dengan butiran pasir, bahkan semut-semut mulai berdatangan dan mengerubunginya. Ia sudah tidak mungkin memungut dan memakannya lagi.
Dengan perasaan luar biasa kecewa, ia kembali melanjutkan langkah kecilnya. Namun, langkahnya itu terhenti begitu ia melihat dua sosok di kejauhan yang cukup menyita perhatiannya.
Zalina memiringkan kepala, memperhatikan kedua sosok di depannya, seorang pria tua yang masih tampak gagah dan wanita muda dengan riasan tebal dan pakaian yang cukup terbuka, gaun tanpa lengan yang panjangnya jauh di atas lutut. Melihat wanita itu, mengingatkan Zalina pada sang ibu yang juga kerap berpakaian seperti itu.
Menjelang sore begini, wanita yang telah melahirkannya itu pasti tengah bersolek di depan cermin. Zalina jadi ingin cepat-cepat pulang sebelum sang ibu berangkat dan meninggalkannya sendirian di rumah.
Baru kakinya hendak melangkah lagi, tetapi hal yang selanjutnya lelaki tua itu lakukan, cukup membuat matanya melebar. Ia merasa takjub dengan lembaran kertas berwarna merah muda, yang laki-laki tua itu sodorkan untuk sang wanita.
Zalina melihat si wanita yang tengah tersenyum genit itu. Wanita itu kemudian tertawa pelan sambil memukul lengan bagian atas lelaki di depannya dengan manja. Suaranya begitu mendayu-dayu saat mengucapkan kata terima kasih.
Zalina kecil urung pergi dan memilih kembali memperhatikan. Kakinya sudah tidak lagi tertarik menyusuri gang itu lagi. Sebaliknya, ia menatap penasaran ke arah dua orang tadi. Dia tidak terlalu mengerti apa yang terjadi sebenarnya.
Namun, setelah melihat uang-uang yang ia tahu nominalnya paling besar itu, ia jadi tertarik. Menurutnya, uang yang diberikan lelaki tersebut sangat banyak.
Kalau ia punya banyak uang, ia tidak akan perlu repot-repot merengek dan meminta sang ibu, kan? Namun, bagaimana ia bisa mendapat uang sebanyak itu juga? Apa perlu ia seperti wanita tadi?
Akan tetapi, Zalina selalu ingat pesan sang ibu jika ia tidak boleh sekalipun menjadi seperti beliau. Dan wanita tadi tidak jauh berbeda dengan mamanya, penampilan mereka sama. Mungkin pekerjaan mereka juga sama, kan? Itu yang Zalina kecil pikirkan.
Ah, entahlah. Yang jelas Zalina kecil bertekad ketika besar nanti, ia akan mendapatkan uang sebanyak-banyaknya.
***
Ilyas Bachtiar
Penulis