Deskripsi
Penulis: Kezia Olivia Natalie (Kezia Olivia)
ISBN: Sedang diajukan
e-ISBN: Sedang diajukan
Kertas: Bookpaper 52 Gram
Ukuran: 13 x 19 cm / Doff
Jumlah Hal: BW 282 Halaman
PROLOG
Aku masih belum lancar mengemudikan sepeda roda dua ketika aku pertama kali mendengar tentang Prakata Juang. Seakan-akan ada kilat, dan gemuruh halilintar terdengar oleh telinga ketika Ayah bercerita tentang Prakata Juang, dalam bayanganku itu adalah sebuah organisasi patriotik yang terdiri atas golongan orang-orang heroik. Adapun muncul nama samaran Prakata Juang yang ditetapkan oleh ketua paling pertama yaitu Dier Malaka yang saat ini sering kudatangi rumahnya untuk sekedar berkunjung di akhir pekan atau setiap hari Rabu malam. Beliau menyebutnya “PR” dilafalkan sama seperti menyebut singkatan pekerjaan rumah. “Prakata Juang kenapa disebutnya PR, Om? Bukan sebagai PJ atau Praju?” tanyaku, sekilas kulihat bibirnya yang sering melahirkan hal-hal besar itu tersenyum, beliau menjelaskan. Yang kudengar adalah di awal tahun 1990, Prakata Juang sempat menjadi organisasi yang dilarang oleh Rektor serta Fakultas Bahasa dan Sastra di kampus (kami satu alma mater) karena sebuah kasus yang menyinggung dekan Fakultas Hukum (suaminya adalah pejabat) akibat kampanye anti korupsi yang digaungkan oleh Prakata Juang selama dua minggu berturut-turut, serta keterlibatan Prakata Juang dalam situasi kacau politik Indonesia saat itu. Dengan demikian, diluncurkanlah singkatan tersebut untuk mengelabui kawan-kawan, dosen, dan pihak lain agar Prakata Juang tetap bisa hidup. Demikian Om Dier, aku, dan kami semua menyebutnya sebagai PR. Sehingga kalau ada yang bertanya pada Om Dier, Ayahku (yang juga anggota), Om Alang dan anggota lain pada saat itu, mereka akan menjawab, “mau ngerjain PR dulu nih!” begitulah asal usulnya hingga akhirnya mereka tetap bisa berkumpul.
Aku selalu menganggap Ayahku, Om Dier, dan Om Alang yang merupakan kawan semasa kuliahnya dulu adalah sekumpulan orang hebat. Dari potongan cerita Ayah yang menurutku jauh lebih mirip dengan teka-teki itu mampu membuatku yakin memilih jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di kampus yang sama dengan kampus Ayah. Tentu aku mendapat teguran dan penolakan darinya, akibatnya kami bicara seperlunya saja setiap bertemu semenjak statusku berubah menjadi seorang mahasiswa. Tetapi itu tidak mengubah rasa hormat dan sayangku pada Ayah, mungkin saja memang Ayah memiliki alasan tersendiri yang belum bisa atau bahkan tidak bisa disampaikan kepadaku.
Selain karena namaku Kalima, aku memang menyukai angka lima, plat nomor mobilku juga D 505 IAN. Penjurusan di semester lima boleh jadi menentukan bagaimana nasibku kedepannya, kupilih sastra ketimbang linguistik karena Ayah sewaktu kuliah dulu memilih linguistik hingga akhirnya kini menjadi seorang ahli linguistik forensik yang kuakui hebat. Mudah-mudahan penjurusan yang kupilih menuntunku ke jalan yang terang benderang.
***
Penulis