Deskripsi
Penulis: Indah Nur Aini (INDAH AINI)
ISBN: Sedang diajukan
e-ISBN: Sedang diajukan
Kertas: Bookpaper 52 Gram
Ukuran: 13 x 19 cm / Doff
Jumlah Hal: BW 322 Halaman
PROLOG
Kaki Karina bersilang di atas lantai yang beralaskan karpet beludru di sudut ruang studio yang tampak sedikit remang. Jemarinya meraba pinggir gelas yang masih utuh dengan susu cokelat hangat yang mulai mendingin.
Karina terdiam, matanya mulai menelusuri ruangan dipenuhi rak CD, kabel yang saling terhubung, dan beberapa selembar kertas yang penuh lirik di meja. Tangan Karina mengambil kertas tersebut yang berada tepat di hadapannya. Karina hanya ingin membaca sejenak.
Secarik kertas itu penuh coretan lirik yang tidak beraturan, banyak kata yang di garis bawahi, dan beberapa dilingkari. Ini bukan pertama kalinya ia menemani kekasihnya untuk membuat lagu, namun kali ini entah kenapa terasa hampa. Ia seperti sedang menunggu momen untuk menyudahi segalanya.
Karina memperhatikan satu carik kertas di tangannya, matanya menelusuri kata demi kata yang tersusun di sana.
In your arms, my soul takes flight
By your side, everything feels just right
You are the one I adore
I will love you forever, and more
Karina tersenyum tipis, apa ini lirik lagu untuknya?
Kedua sudut bibirnya membuat senyum tipis, namun hatinya tidak bisa berbohong jika ia merasa lirik tersebut tidak sesuai dengan faktanya. Sedangkan laki-laki yang masih sibuk memutar ulang rekaman vokal dan fokus pada layar monitor di depannya, kini melangkahkan kaki untuk mendekat. Mazenio tersenyum, “Sayang,” tegurnya. “Ini belum jadi, jangan dibaca,” lanjutnya lalu menarik kertas tersebut dari genggaman kekasihnya, hingga coretan lirik tersebut sudah berpindah tangan.
Karina mendongak, menatap Mazenio dengan pandangan sendu, karena gadis itu tahu betul panggilan tersebut akan menjadi terakhir kali yang ia dengar dari laki-laki di hadapannya.
Mazenio yang berdiri di hadapannya kini mengerutkan alisnya, menyadari bawah gadisnya sedang tidak baik-baik saja. Laki-laki itu mendekat, mendudukkan dirinya di sofa tepat di atas karina dengan satu kaki menekuk agar jaraknya lebih dekat dengan kekasihnya. “Kenapa, Sayang? Kok, lihatin aku kayak gitu,” tanya Mazenio dengan mengusap pelan surai Karina.
Karina membalas tatapan kekasihnya yang sudah menjalin empat tahun lamanya dengan pandangan kosong, “Would you choose me if there was someone else, Zen?” pertanyaannya terlihat ragu-ragu.
Mazenio terkekeh, melihat hal tersebut sebagai candaan. “Ngomong apa, sih?” ucapnya seraya mencubit pelan pipi Karina karena merasa gemas.
“Kamu udah packing, Sayang? Besok kita ke Bandung,” tanya Mazenio mengalihkan topik dengan tangan mulai merapikan beberapa kertas yang berserakan di atas meja.
Karina menggeleng.
Mazenio menatapnya bingung, “Belum?”
Karina membuang napasnya pelan, “Gak packing.”
“Kenapa? Gak bisa ikut aku manggung besok? Toko lagi gak bisa ditinggal?” tanya Mazenio bertubi-tubi.
Karina menggeleng kesekian kali, “Gak mau aja.” Telunjuk Karina mulai menari membentuk arah abstrak pada meja, membuat Mazenio bertanya-tanya. “Barang-barang penting jangan lupa dibawa, Zen. Mulai sekarang gak sama aku lagi, jadi gak boleh lupa.”
“Ngaco!” protes Mazenio. “Ngomong apa, sih, aku gak suka.”
Karina mendongakkan kepalanya, berani menatap Mazenio dengan tajam. “Kamu gak ada yang mau diomongin, Zen?”
“Ngomongin apa? Kamu kenapa begini, sih? Kalau aku ada salah itu ngomong, biasanya juga gitu, kenapa sekarang begini?” ucap Mazenio tegas.
Karina menatapnya lelah, “Aku tanya sekali lagi, ada yang mau kamu omongin gak sama aku? Aku bakal terima apa pun itu, Zen, asal kamu bilang,” ujar Karina yang sudah di ambang batas kesabarannya.
Mazenio terdiam, tampak menimang sesuatu.
Sementara Karina terkekeh pelan, melihat kekasihnya yang mendadak penuh pertimbangan tersebut membuatnya yakin bahwa bukan dirinya-lah jawabannya.
“Kita sampai sini aja, Zen,” putus Karina, gadis itu sudah membulatkan tekadnya.
Mata Mazenio terbelalak, bagaimana bisa kekasihnya tersebut dengan santainya mengeluarkan kata-kata yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. “Kalau ada masalah jangan pakai emosi,” ucap Mazenio bermaksud mendinginkan suasana.
Namun, ego Karina sudah menjulang tinggi, “Kalau aku pakai emosi kita udah putus dari lama,” ucapnya dengan kasar.
Karina berdiri, mengambil tas selempangnya di sofa, lalu mulai melangkah melewati Mazenio. Tentu saja laki-laki itu tidak membiarkannya pergi begitu saja. Mazenio menahan erat pergelangan tangan Karina, hingga suasanya menjadi ganjil. “Sayang, kasih aku penjelasan dulu sebelum ngelakuin hal egois kayak gini,” tegur Mazenio.
Karina menoleh, menatapnya tidak percaya. Bagaimana bisa laki-laki itu tidak menyadari kesalahannya sendiri? Karina tertawa gamang. Lucu sekali, pikirnya.
“Apa? Bosen? Aku kurang ngertiin kamu? Aku terlalu sibuk sampai gak ada waktu buat kamu? Atau apa? Kasih aku penjelasan, aku gak mau mikirin hal kayak gini belarut-larut.” Genggaman tangan Mazenio pada Karina semakin menguat, membuat gadis itu meringis pelan.
Melihat jawaban Mazenio yang membuat Karina tidak habis pikir, gadis itu segera menarik pergelangan tangannya dengan kasar. “Aku gak nemu bahagiaku lagi di kamu, Zen, udah, kan?” jawabnya sinis, dengan napas tersenggal-senggal karena emosi Karina berjalan pelan menuju pintu studio.
“Kamu pergi dari situ kita beneran putus, Karina!” ucap Mazenio memperingati, nadanya mulai meninggi.
Karina terdiam, tangannya memegang knock pintu. Namun badannya tidak bergerak. Sementara Mazenio senyum puas, namun seketika jantungnya berdetak kencang tidak menyangka, ketika Karina dengan yakin membuka pintu tersebut dan keluar dari sana.
Di sisi lain, air mata Karina lolos ketika tubuhnya sudah melebur di kursi kemudi mobil, tidak mengira hubungannya akan berakhir setragis ini. Ia tidak akan menyalahkan dirinya sendiri karena telah menyelamatkan hidupnya dari siksaan yang tidak berujung.
Karina sudah mengakhiri hubungan mereka, mengakhiri semuanya. Ia seperti sudah tidak peduli seberapa lama, sejauh apa, dan sudah tidak bisa membawa luka untuk bulan-bulan berikutnya.
***
Penulis