02.00
Buy This Book

Deskripsi

Penulis: Anugrah Ameylia Falensia (Ameylia Falensia)
ISBN: Sedang diajukan
e-ISBN: Sedang diajukan

Kertas: Bookpaper 52 Gram

Ukuran: 13 x 19 cm / Doff

Jumlah Hal: BW 322 Halaman

PROLOG
 

“00.00”


“Mau lo apa, sih, Zel? Selama sembilan tahun ini, lo masih berharap jadi pemeran utama yang harus selalu dimengerti semua kemauannya? Harus selalu diikuti setiap perkataannya?”  

Perempuan itu tertawa geli mendengar pertanyaan sekaligus pernyataan yang keluar dari mulut lelaki yang ia cintai selama sembilan tahun. Setelah menunggu berjam-jam, ternyata kalimat itu yang pertama kali harus ia dengar.

“Lo manusia paling egois yang pernah gue temui!” lanjut lelaki itu.

“Egois apa, sih—” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, tangan lelaki itu—Deo—lebih dulu mencengkeram dan menarik lengannya secara paksa agar masuk ke dalam mobil. 

Di dalam mobil, tak ada sepatah kata yang keluar dari perempuan itu ataupun Deo. Keduanya sama-sama diam, hanya ada keheningan yang terasa menyesakkan. Sampai akhirnya setelah beberapa menit berlalu, Deo kembali memulai percakapan.

“Lo ngapain nyamperin Prima dan ngomong ke dia buat jauhin gue? Lo pikir itu nggak egois?! Gara-gara omongan tai lo itu, Prima sampai masuk rumah sakit!” Suara Deo meninggi, tajam menusuk ruang sempit dalam mobil.

Hazel terdiam.

Bagi Deo, Prima memang selalu lebih pantas. Mantan sekaligus sahabat lama yang sikapnya selalu tenang, dewasa, dan tidak pernah membuat masalah. Di mata Deo, semua kebaikan Prima menutupi setiap kemungkinan kesalahan yang dilakukan perempuan itu. Sementara Hazel—dengan emosi dan mulutnya yang meledak-ledak—selalu tampak seperti sumber kekacauan.

“Maksud lo apa datengin dia? Lo pikir, Prima ngerebut gue dari lo? Dia bahkan nggak ngelakuin apa-apa, Zel! Dia diem aja, dan lo datang bawa-bawa cerita kita ke dia?”

Hazel mengatupkan rahangnya rapat-rapat, ia mencoba mengatur napasnya yang mulai memburu. Ia sudah tahu akan begini. Sudah terlalu sering diposisikan sebagai penyusup. Terlalu sering dibandingkan dengan Prima yang lebih mengerti dan tidak penuh dengan drama.

“Lo kenapa masih terus-terusan gangguin hidup Prima?”

Pertanyaan itu sukses membuat mata Hazel melebar. Ia mengalihkan pandangan ke luar jendela, mencoba meredam perasaannya yang mulai mendidih.

“Lo egois, Zel! Lo cuma mikirin perasaan lo sendiri. Lo sama sekali nggak peduli sama perasaan gue dan Prima!”

Hazel mencengkeram ujung bajunya. Dengan sekuat tenaga, ia menahan tangis yang mendesak keluar.

“Harusnya lo mikir, selama ini lo udah jahat ke orang sebaik Prima. Gue ngerasa udah nggak kenal sama lo lagi, tau?”

Hazel ingin tertawa—pahit. Ia merasa seperti tokoh antagonis dalam cerita cinta orang lain. Di mata semua orang, ia terlalu reaktif, terlalu meledak-ledak, terlalu ingin menguasai Deo.

“Gue tadi ke rumah sakit. Prima bilang lo dateng ke tempat dia, nyerocos soal hubungan kita, bikin dia kepikiran sampe akhirnya kecelakaan.”

Hazel tertawa getir. Pantas saja ia menunggu kedatangan Deo selama tiga jam sendirian, ternyata laki-laki itu habis menjenguk (mantan) kekasih hatinya. Tiga jam ia duduk menunggu, berharap jadi tujuan utama. Namun, kenyataannya, ia hanya jadi jeda di antara kepedulian Deo pada orang lain.

“Keren banget lo. Datengin dia, ngomongin kita, seolah-olah lo paling ngerti segalanya!” Deo kembali berujar dengan ekspresi muak. Tak lupa ia juga memberi penekanan pada tiap kata yang keluar dari mulutnya.

“Sok deket lo sama gue. Sok tau lo tentang gue.” Nada pelan tapi sangat menusuk itu membuat Hazel mencelos.

“Gue nggak pernah nganggep lo lebih dari sekadar pelarian, Zel—”

Suara tamparan menggema di dalam mobil. Mata perempuan itu memerah, menahan tangis dan amarah dalam dirinya. Ucapan itu bukan hanya menyakitkan, tapi berhasil membungkam semua alasan kenapa ia tetap bertahan selama ini.

“AKU PACAR KAMU!” Hazel berteriak. Suaranya bergetar, nyaris patah di ujung kalimat. Rasa panas menjalar ke tangan yang tadi menampar Deo, sementara tangan satunya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.

“Gila kamu bisa ngomong kayak gitu!” Tangan Hazel terangkat, telunjuknya gemetar menunjuk tepat ke wajah Deo, bukan untuk mengancam, tapi menegaskan luka yang sudah terlalu lama ia pendam.

Deo akhirnya terdiam setelah semua kata tajam, menyakitkan, dan nyaris tanpa jeda keluar dari mulutnya. Bukan karena takut, tapi untuk pertama kalinya, ia benar-benar melihat betapa hancurnya perempuan di hadapannya... dan sadar, ialah penyebabnya.

Telunjuk yang semula hanya mengarah ke wajahnya, kini berubah menjadi dorongan di dada Deo—berulang kali, penuh emosi. Setiap dorongan bukan sekadar kemarahan, tapi penegasan. Seolah Hazel ingin menanamkan di dalam diri lelaki itu betapa dalam luka yang ia bawa, dan betapa kalimat-kalimat yang tadi terlontar tak bisa ditarik kembali.

“Sembilan tahun, Deo!” Dadanya sesak. Semua luka yang selama ini ia telan, pecah dalam satu tarikan napas. Air mata akhirnya jatuh, membasahi wajah yang sejak tadi menahan marah.

Hazel menatap Deo—pandangan yang penuh kecewa, marah, dan patah di waktu bersamaan. Kali ini suaranya lebih pelan, tapi justru lebih menyakitkan dari teriakan sebelumnya.

“Sembilan tahun kamu nunggu dia, dan sembilan tahun juga aku nunggu kamu di sini.”

***

Anugrah Ameylia Falensia (Ameylia Falensia)  

Penulis