23 WAYS TO SAY I LOVE YOU
Buy This Book

Deskripsi

Penulis: Indah Nur Aini (Indah Aini) 
ISBN: Sedang diajukan
e-ISBN: Sedang diajukan

Kertas: Bookpaper 52 Gram

Ukuran: 13 x 19 cm / Doff

Jumlah Hal: BW 302 Halaman

PROLOG 

Laki-laki dengan jersey basket bernomor punggung sepuluh itu tengah berdecak kesal lantaran teman-temannya selalu melontarkan pertanyaan yang sama setiap hari. Archio Marfy, laki-laki dengan rambut sedikit basah karena keringat itu kini mengambil gulungan tissue besar di meja kantin, lalu melemparnya tepat ke arah mulut salah satu temannya yang masih terus menyerocos tanpa henti.

“Aduh!” erang Ken menahan rasa sakit dengan memegang sudut bibirnya.

Sedangkan di sebelahnya, Nathan terkikik geli. “Sukurin, makanya jangan macem-macem sama Archio!”

“Udah baik ditawarin cewek biar gak jomblo mulu, malah gak mau,” bela Juna dengan diangguki oleh Ken tanda bahwa laki-laki itu setuju.

Archio melengos, “Gak minat,” jawabnya dengan malas.

“Minatnya cewek yang kayak gimana?” tanya Ken dengan memasang raut muka serius bak expert yang bisa mengabulkan apa saja yang temannya pinta. 

Archio menatapnya malas “Kayak—” ucapannya tertahan. “Masa lalu gua,” jawabnya dalam hati, tapi dalam sejekap laki-laki itu menggeleng. “Bukan kayak dia, tapi harus dia,” lanjutnya.

“Gak jadi.” 

Jawaban Archio mampu membuat Ken mengepalkan tangannya erat-erat. Ken balas menatapnya sinis. “Gua dengerin lu lama, ternyata gak jadi?”

“Berisik, Ken, gua lagi nungguin orang,” dengkus Archio dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Mendengar itu, teman-temannya hanya bisa saling pandang. Entah apa maksudnya dari kata menunggu. Padahal mereka sudah berteman lama, tapi Archio tidak pernah menceritakan hidupnya lebih dalam, teman-temannya selalu merasa seperti ada yang sedang laki-laki itu tutupi, tapi mereka tidak berani untuk mencari tahu lebih jauh.

“Iya, udah, tungguin sampai lumutan,” ucap Nathan berpura-pura tidak peduli.

Ken menggaruk telinganya. “Johan mana, sih? Jun coba telepon suruh ke sini cepetan.”

“Tadi katanya mau ngobrol dulu sama Rafa, bentar lagi juga dateng. NAH, TUH, BOCAHNYA!” sahut Juna antusias ketika melihat Johan berlari menghampiri mereka.

“Anj*ng, cantik banget,” ujar Johan tanpa aba-aba dengan napas yang tersenggal-senggal.

Alis Archio menyatu. “Abis dari mana? Kok lama banget?” tanya laki-laki itu dengan tangan yang sibuk membuka satu botol air mineral.

“Gua tadi ngobrol sama Rafa, terus waktu ngelewatin kantor guru, kok rame banget, gua kira apaan, ternyata ada murid pindahan,” tutur Johan panjang lebar.

“Terus?” tanya Nathan tidak mengerti.

Juna kesal melihat temannya yang lemot dalam berpikir itu dengan tidak sabar menoyor kepala Nathan. “Murid pindahannya cantik.”

“Wah, wah, wah, target gua ini,” sahut Ken dengan mulai merapikan rambutnya dan bertingkah sok ganteng.

Johan melotot tidak terima. “Gua duluan, ya, setan!”

“Bersaing sehat, lah, kita, boy,” jawab Ken tidak terima.

“Terusin aja rebutan sampai gelut, ending-nya nanti dia jadian sama gua,” sahut Juna dengan santai.

Seketika Johan dan Ken memandangnya sengit. “AWAS LU JUN!” ujar mereka bersamaan.

“Pindahan kelas berapa, Jo?” tanya Ken tidak sabaran.

Johan menatapnya penuh curiga. “Dua belas.”

Ken yang mendengar hal tersebut, lantas tersenyum miring. “Cocok.”

Archio terkikik geli. 

Nathan yang melihat itu segera menimpali, “Lu berdua kayak lupa aja kalau ada dia,” ucap laki-laki itu seraya menunjuk Archio dengan dagunya.

Bahu Johan mendadak lemas. “Kalau gini bisa kalah telak gua,” ucapnya pesimis. Memang benar, siapa yang bisa menolak pesona laki-laki tampan dengan kulit putih bersih seperti Archio? Laki-laki itu bahkan selalu diincar oleh pihak sekolah untuk menjadi sampul majalah SMA Galaksi.

“Ya, udah, Ar, buat lu aja,” ucap Ken ikut putus asa.

Archio menggeleng. “Gak minat gua.”

“Yakin?” sahut Nathan memastikan.

Archio mengangguk.

“Cantik, Ar,” kini Johan ikut memancing. 

Archio kembali mengangguk dengan membuka ponselnya yang bergetar, tanda ada notifikasi masuk. “Iya, gak minat.”

Johan tidak kehilangan akal, “Cantik dia, wajahnya kecil, lucu. Tubuhnya juga mungil, tapi gak pendek. Ah, bingung gua jelasinnya, yang pasti dia cakep.” Laki-laki itu memang sok keras, berpura-pura tegar di tengah hatinya yang bercamuk harus mengikhlaskan si cantik yang ia maksud jika Archio terkena pancingannya.

“Jadi kepo gua, Jo, siapa namanya?” tanya Juna.

“Tadi denger-denger, Olivia, Olivia Grace Grace siapa gitu.” 

Archio yang sedang menggulir lini masa Instagram tersebut mendadak terhenti, sorot matanya menatap Johan tanpa berkedip.

“Lah, namanya aja cakep, orangnya pasti cakep ini,” timpal Ken yang sedari tadi sibuk mengunyah bakso mendadak terlihat bersemangat.

“Siapa nama panjangnya?” Satu pertanyaan muncul dari mulut Archio.

Gotcha! 

Archio terkena pancingannya.

Johan menyeringai walau detak jantungnya meningkat drastis. “Kenapa? Tertarik?”

Sorot mata Archio menajam. “Siapa nama panjangnya?” tanya laki-laki itu dengan penuh penekanan.

“Olivia Gracelyn, kayaknya, seinget gua itu tadi.”

Bahu Archio menegang.

“Cakep, deh, sumpah—” Belum selesai Johan menyelesaikan perkataannya, Archio sudah secepat kilat berlari meninggalkan mereka berempat yang terperangah melihat sikap laki-laki itu. 

Archio melangkahkan kakinya dengan terburu-buru, bahkan sesekali ia berlari kecil dengan tidak sabar menuju kantor guru, tempat di mana terakhir kali Johan—sahabatnya bertemu dengan Olivia. Dengan napas terengah, netranya mulai menelusuri kerumunan murid di sekitar kantor guru. Dahi Archio mengernyit mengharapkan apa yang ia pikirkan betul adanya. 

Tepat ketika seorang siswi berjalan keluar dari kantor guru, dada Archio bergemuruh hebat. Mata laki-laki itu menjelajahi segala hal yang ada pada gadis itu dari kepala sampai ujung kaki. Tatapannya kini jatuh pada pergelangan gadis itu yang terlihat manis dilingkari oleh gelang berwarna cokelat terang yang sangat kontras dengan kulit putihnya, bahkan dari jauh pun Archio bisa melihatnya dengan jelas.

Archio mengedipkan mata berkali-kali melihat gadis itu yang sedang bertingkah canggung karena banyaknya murid yang mengerumuninya, ia tersenyum tipis ketika gadis itu mulai meremas ujung rok seragamnya. 

Perasaan Archio sudah tidak tertahan. “Olivia!” panggilnya dengan suara lantang yang mengundang tatapan terkejut di sekitarnya. 

Laki-laki itu kini mulai melangkahkan kaki untuk menghampiri, tatapannya tidak terlepas dari gadis yang saat ini menatapnya tanpa berkedip. Baru saja ia tiba di hadapan gadis itu, ia merasakan pergelangan tangannya tertahan. 

Ken, dengan napas tersenggal-senggal setelah berlari menghampirinya dari kantin itu tengah menggenggam tangannya erat, diikuti dengan ketiga sahabatnya di belakang.

“Mau ngapain lu, bego? Kalau mau gas nanti aja, jangan sekarang, malu kalau ditolak, diliatin banyak orang,” ujarnya dengan nada berbisik memastikan tidak ada yang mendengar percakapan mereka. Mereka sekarang benar-benar berada di tengah kerumunan.

Archio memalingkan wajahnya tidak peduli, matanya memilih untuk memandang gadis itu kembali. “Dia mantan gua,” ucapnya dengan tenang.

Tiga kata yang berhasil membuat semua orang yang melihatnya menjadi ternganga, termasuk Olivia yang ia yakini masa pengenalan murid pindahan gadis itu akan berubah seketika.

***

Indah Nur Aini (Indah Aini)

Penulis