2191 HARI DI BANDUNG
Buy This Book

Deskripsi

Penulis: Hanasya 
ISBN: Sedang diajukan
e-ISBN: Sedang diajukan

Kertas: Bookpaper 52 Gram

Ukuran: 13 x 19 cm / Doff

Jumlah Hal: BW 282 Halaman

PROLOG 

Hari ini matahari pamit lagi. Meninggalkan gelap dan sepi di langit. Bulan pun datang bersama para bintang dan angin dingin mulai menerpa. Jalanan tampak ramai dengan orang-orang yang berlalu lalang. Bergelut dalam keramaian kita akan menemukan kedamaian dalam keindahan arsitektur di sepanjang jalan Braga.

Braga, jalan legendaris di Bandung. Tempat wisata, belanja, kuliner, dan menawarkan pengalaman yang memikat bagi banyak orang. Pun bagi salah seorang perempuan yang kini tengah memandang ke arah laki-laki di seberang jalan Braga. Perempuan itu ialah Serana, salah satu penduduk Bandung yang sampai detik ini menunggu kedatangan laki-laki di seberang jalan itu enam tahun belakangan.

Serana menatap laki-laki itu, mengingat bahwa orang itu adalah seseorang yang sudah lama ia tunggu kehadirannya. Tak disangka kini kedua mata mereka saling bertemu. Mereka saling memandang satu sama lain selama beberapa detik sebelum akhirnya Serana bergerak menghampiri sosok itu. Namun, langkahnya berhenti ketika laki-laki itu malah berbalik arah meninggalkan tempat yang penuh dengan kenangan dengan langkah terburu-buru.

Banyaknya orang-orang yang berlalu lalang membuat Serana tak mampu untuk mengejar sosok laki-laki itu. Entah ini hanya khayalannya saja atau tidak, tetapi Serana yakin wajah laki-laki yang ditunggunya itu berada di hadapannya.

“Rema.” Dengan napas yang memburu, Serana menyebut nama seseorang yang begitu ia rindukan kehadirannya. 

“Seseorang yang baru gue lihat di seberang jalan Braga, itu Rema, kan? Gue mau hampiri dia di seberang sana. Tapi, kenapa dia pergi seakan nggak pernah bertemu gue sebelumnya?” Serana terus bertanya-tanya kenapa laki-laki itu pergi begitu saja ketika melihat keberadaannya.

Serana menghentikan langkahnya. Dengan kecewa dan sedih, ia memutuskan untuk berbalik arah. Kembali pulang ke rumah dengan wajah murung dengan harapan dalam hatinya sosok yang ia lihat di Braga adalah Rema, laki-laki yang ia tunggu.

Perempuan itu langsung merebahkan tubuhnya di kasur dan memejamkan matanya untuk sesaat. Ia kembali mengingat laki-laki di seberang jalan tadi.

“Apa mungkin… ini sebatas khayalan gue lagi karena terlalu rindu sama dia?”

Tangan perempuan itu kemudian meraih ponsel. Ia mencoba menghubungi seseorang.

“Halo, Na.” Tak lama kemudian suara perempuan terdengar menyambut panggilannya.

“Alma, gue ketemu Rema di Braga.” Tak perlu waktu lama bagi Serana untuk mengatakan kepada sahabatnya bahwa dirinya melihat Rema.

Cukup lama Alma hanya terdiam sampai pada akhirnya perempuan itu mengatakan hal yang sedikit membuat Serana merasa kesal. “Na, lo yakin dia Rema? Mungkin saja itu hanya kebetulan, Na. Atau mungkin orang yang mirip saja sama Rema.”

“Tidak ada yang kebetulan, Al. Dengan sangat jelas gue melihat Rema Rajaksa. Orang yang gue temui di Smanda, enam tahun yang lalu,” jelas Serana. Ia begitu yakin bahwa seseorang yang ia temui di Braga adalah Rema yang ia tunggu. 

“Na, ini sudah enam tahun dan ini bukan kali pertama lo mengatakan hal yang sama. Gue ngerti bagaimana perasaan lo selama ini. Lo pernah dibuat nyaman sama Rema, tapi setelah itu dia tiba-tiba menghilang tanpa kabar sampai sekarang dan tanpa ngasih tau lo di kemana.”

Mendengar itu Serana terdiam. Memang benar apa yang sahabatnya itu katakan. Selama ini ia menunggu kedatangan Rema yang bahkan ia sendiri tidak tahu kemana laki-laki itu pergi. 

“Na, Rema sudah pergi ninggalin lo sejak enam tahun yang lalu. Lo nggak capek nungguin dia terus?” tanya Alma.

Serana terdiam. Ia tidak tahu harus mengatakan apa kepada sahabatnya itu setelah semua keberanan yang Alma katakan.

“Oh, iya, lo udah ke psikiater minggu ini?” 

“Gue nggak Gila, Alma. Gue beneran ngeliat Rema. Percaya sama gue, ya?” Lagi-lagi Serana berusaha untuk menyakinkan sahabatnya itu bahwa dirinya tidak seperti dulu lagi. Beberapa tahun belakangan ia memang selalu menyempatkan diri untuk datang ke psikiater, itu semua karena luka yang Serana alami di masa lalu.

“Na, lo sahabat gue dan gue nggak mau ngeliat sahabat gue kayak gini terus hanya karena seseorang yang nggak jelas keberadaannya.”

Mendengar itu, Serana tidak lagi menjawab Alma. Ia memilih untuk mengakhiri sambungan telepon mereka.

“Gue juga capek, Alma. Dulu, Rema pernah bilang apa pun yang terjadi di masa yang akan datang, dia berjanji untuk tetap kembali lagi ke Bandung. Tapi, nyatanya ini tahun ke-enam dan gue masih menunggu kedatangan Rema kembali.”

Serana meremat ponselnya sebelum kembali membuka layarnya. Dilihatnya kembali isi pesannya pada Rema.

***

Hanasya 

Penulis